PENS-ITS --> LLU

It Was TEKNOLOGI INFORMASI,Now LLU

Sabtu, 15 Desember 2007

Berlomba Teknologi di Layar Animasi

DALAM perfilman Hollywood, Walt Disney dikenal sebagai “rajanya animasi”. Maklum saja, dalam rentang sekian puluh tahun, Disney memang paling intens menggarap film-film animasi. Sebut saja film-film animasi yang diadaptasi dari dongeng-dongeng dunia seperti ”Snow White”, ”Beauty and the Beast”, ”Fantasia”, atau film-film seri televisi yang dikenang sepanjang masa seperti “Mickey Mouse”, “Tom and Jerry”, dan “Donald Duck”. Pendek kata, bicara film animasi berarti bicara Walt Disney.

Tapi, seiring perubahan zaman dan perkembangan teknologi, dominasi Disney dalam film animasi mulai menyusut. Aplikasi komputer grafik tiga dimensi (3D), khususnya dengan kemunculan teknologi CGI (computer generated imagery), membuat posisi Disney terancam. Ancaman ini sudah dimulai ketika Lucasfilm milik sutradara kondang George Lucas pada 1979 mendirikan Pixar, sebuah kelompok grafik (graphic group) sebagai salah satu dari tiga divisi komputernya. Ia menyewa ahli komputer grafik dari New York Institute of Technology (NYIT), Edwin Catmull.

Kehadiran Pixar pada awalnya memang ditujukan sebagai komponen penting dalam mendukung riset Lucas menangani sejumlah film ambisius garapannya, seperti “Star Trek II: the Wrath of Khan and Young” dan “Sherlock Holmes”. Namun, setelah tujuh tahun berjalan, dengan alasan efisiensi karena banyak pekerja yang digarap Pixar overlap dengan yang dikerjakan Industrial Light and Magic, perusahaan yang juga milik Lucas, Pixar pun dijual kepada Apple Computer Inc seharga 5 juta dolar AS. Dalam statusnya sebagai perusahaan independen dan mendapat kucuran dana tambahan 5 juta dolar AS dari bos Apple, Steve Jobs, Pixar di bawah pimpinan Edwin Catmull, memulai langkah kurang meyakinkan.

Pada awalnya, Pixar hanya menghasilkan perangkat lunak (software) dan keras mutakhir dengan produk utama Pixar Image Computer, sebuah sistem yang sebagian besarnya dijual kepada pihak pemerintah dan masyarakat medis. Namun, di antara para konsumen Pixar terdapat satu perusahaan film besar AS, Walt Disney. Studio Disney menggunakan produk Pixar sebagai bagian dari projek rahasia mereka yang diberi nama CAPS (computer-assisted animation post-production software system) atau sistem perangkat lunak pascaproduksi animasi berbantuan komputer. Dengan CAPS, studio Disney bisa melakukan proses animasi dua dimensi (2D) menjadi lebih otomatis dan efisien.

Dalam suatu konvensi SIGGRAPH, konvensi terbesar komputer grafik di AS, John Lasseter yang sejak lama dikenal kreator sejumlah film animasi pendek, memperkenalkan Pixar Image Computer. Hasilnya memang mencengangkan banyak orang. Namun, tetap saja pihak Pixar mengalami kesulitan dalam menjual produk mereka. Untuk mencegah kerugian bisnis lebih parah yang berujung pada kebangkrutan, John Lasseter mulai memproduksi animasi komputer komersial untuk sejumlah perusahaan. Sukses awal pun mereka raih, termasuk animasi komputer untuk iklan Tropicana, Listerine, dan LifeSave.

Rupanya, sejak awal pihak Disney mulai membaca potensi besar yang dimiliki Pixar dalam mendukung hegemoni mereka sebagai raja animasi. Apalagi Disney menyadari, studio animasi miliknya kedodoran dan kurang siap mengantisipasi perkembangan teknologi, khususnya aplikasi CGI yang memungkinkan film-film animasi tidak lagi flat --yang menjadi ciri teknologi 2D--, melainkan tampak lebih riil dan hidup. Akhirnya, pada tahun 1991, Pixar membuat kesepakatan senilai 26 juta dolar AS dengan Disney untuk memproduksi film animasi komputer pertama, “Toy Story”.

Film yang dirilis pada 1995 itu pun menuai sukses besar. Kesuksesan itulah yang kian menguatkan keyakinan para jagoan komputer grafik di Pixar, di masa depan mereka, bisa menjadi pesaing kuat, sekaligus mengalahkan Disney dalam hal film animasi. Apalagi, dari sisi teknologi, Pixar membawa teknologi baru yang selangkah lebih maju daripada Disney. Mereka pun berharap, kerja sama dengan Disney hanyalah sebatas kerja sama bisnis dua pihak yang selevel, Pixar bertanggung jawab dalam produksi dan ide cerita, sedangkan Disney—yang memang sudah memiliki pengalaman dan jaringan distribusi kuat—bertanggung jawab dalam pemasaran dan distribusi.

Tapi, Disney bertindak cerdik, karena memang ingin menguasai sepenuhnya Pixar. Meski sempat ditandai turun-naik dan perselisihan, pada akhirnya Disney berhasil membeli Pixar pada 24 Januari 2004. Disney mengumumkan bahwa pihaknya telah menyetujui pembelian Pixar dengan nilai mencapai 7,4 miliar dolar AS. Berdasarkan kesepakatan pemegang saham Pixar, akuisisi secara penuh dilakukan pada 5 Mei 2006. Sejak saat itu, dalam setiap produksinya, nama Pixar tidak lagi berdiri sendiri, tapi harus disatukan dengan Disney menjadi ”Pixar-Disney”. John Lasseter, yang semula adalah orang Disney dan keluar untuk mendirikan Pixar, mau tak mau harus kembali masuk ke ”rumah lamanya”.

Langkah akuisisi Disney atas Pixar ini setidaknya memberi garansi pada Disney, mereka tak akan kehilangan hegemoni dalam perfilman animasi Hollywood. Sebelumnya, Disney sempat dibuat ketar-ketir menyusul bermunculannya perusahaan-perusahaan film yang membidik genre animasi melalui bantuan teknologi CGI. Sudah begitu, para animator jagoan mereka--dengan beragam alasan--satu per satu keluar dari Disney dan membuat perusahaan baru sebagai kompetitor. Salah seorang di antaranya adalah Jeffrey Katzenberg.

Gara-gara berseteru dengan CEO Walt Disney Company, M. Eisner yang membatalkan promosi dirinya, Jeffrey Katzenberg menyatakan keluar dari Disney dan mendirikan DreamWorks SKG bersama Steven Spielberg. Kazenberg menjabat sebagai CEO di DreamWorks Animation Inc, yang merupakan unit animasi DreamWorks SKG. Padahal sebelumnya, sebagai kepala unit animasi di studio Disney, Jeffrey Katzenberg adalah andalan Disney. Sejumlah film animasi yang mencapai box office seperti “The Little Mermaid” (1988), “Beauty and the Beast” (1991), “Aladdin” (1992), dan “The Lion King” (1994) adalah buah tangan dingin Jeffrey Katzenberg.

DreamWorks sebelumnya sudah memiliki kemampuan CGI, namun lebih banyak digunakan untuk mendukung pembuatan film-film non-animasi alias live-action. Hasilnya memang luar biasa. Lihat saja karakter dinosaurus dalam ”Jurasic Park” atau beberapa karakter alien yang unik dalam ”Men In Black”. Semuanya tampak unik, realistik, dan hidup.

Sejak keluar dari Disney, hal utama yang dilakukan Jeffrey adalah membuat film animasi untuk bersaing langsung dengan Disney. Membuat film animasi adalah satu hal, tapi memasarkannya hingga bisa diterima penonton, itu hal lain. Meski film pertamanya ”The Prince of Egypt” mampu menempus pendapatan 100 juta dolar AS, namun upaya Jeffrey dan timnya sungguh berat. Begitu juga dengan ”Road to El Dorado” dan ”Chicken Run”, cukup balik modal. Barulah, ketika “Shrek” dirilis pada 2001, Jeffrey bisa tertawa, meski kemudian ia kembali sedih karena film berikutnya “Spirit: Stallion of the Cimarron” dan “Sinbab: Legend of the Seven Seas” kembali terpuruk dan merugi.

Jeffrey kemudian sadar, seiring dengan perkembangan teknologi, tingkat ekspektasi penonton animasi meningkat. Film animasi 2D mulai dipandang sebagai gambar kuno dan harus dimasukkan ke dalam museum. Ia pun kian yakin, masa depan film animasi ada pada komputer CGI yang mampu menghasilkan gambar-gambar 3D. Sukses ”Shrek” menguatkan dirinya untuk membuat sekuelnya dan terbukti, ketika dirilis pada 2004, ”Shrek 2” mampu menjadi film terlaris sepanjang tahun tersebut. Pencapaian ”Shrek 2” sekaligus menjadi simbol bahwa DreamWorks ternyata bisa mengalahkan Disney karena pada tahun yang sama produk Disney yakni ”The Incredible” dibuat tak berdaya oleh ”Shrek 2”. Film-film DreamWorks pun kini diterima penonton dunia yang tidak lagi ”Disney minded”.

Dengan bersatunya ”Pixar-Disney” dan mulai diperhitungkannya DreamWorks, persaingan teknologi dalam film animasi 3D dipastikan kian sengit. Tanda-tandanya sudah terlihat. Jika satu pihak merilis satu judul film, maka pihak lain segera merilis film dengan tema sejenis, dengan karakter yang mirip, setting dan plot cerita yang tak jauh berbeda. Fakta ini cukup unik di mata para pengamat film.***

Laman